News & Article Details

pestisida organoklorin

Pestisida Organoklorin: Racun Siluman di Lahan Pertanian

Pestisida organoklorin pestisida organik sintetis yang mengandung atom klorin. Pestisida jenis ini bersifat lipofilik, hidrofobik, tahan terhadap degradasi, dan bertahan di lingkungan selama bertahun-tahun. Karakteristik tersebut berhubungan dengan masalah kesehatan yang serius. Sehingga, sebagian besar organoklorin digolongkan ke dalam polutan organik yang pesisten (POPs). Pestisida organoklorin dibuat pertama kali tahun 1874 adalah DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane). Lima jenis pestisida yang tergolong ke dalamnya adalah DDT, metoksiklor, dikofol, heptaklor, klordan, endosulfan, aldrin, dieldrin, endrin, dan mirex.

Penggunaan pestisida organoklorin populer antara tahun 1940 – 1960an. Namun, kekhawatiran terhadap sifat lipofilisitas yang tinggi, bioakumulasi, dan waktu paruh yang panjang, menyebabkan munculnya larangan penggunaan di berbagai negara. Amerika Serikat melarang penggunaannya di tahun 1988, China juga melarangnya sejak tahun 1980an, dan Indonesia sejak tahun 1990 diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian No: 434.1/kpts/TP.270/7/2001.

Bahaya Pestisida Organoklorin

Sebuah studi yang dilakukan oleh Pimentel (1995) menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil (0,3%) pestisida yang diaplikasikan masuk ke dalam hama sasaran, sementara 99,7% masuk ke tempat lain ke dalam lingkungan. Pestisida sintesis sulit terurai dan bisa tetap ada di tanah, air, dan udara untuk waktu yang lama, bahkan setelah penggunaannya dihentikan. Selain berdampak bagi lingkungan, pestisida organoklorin juga berbahaya bagi kesehatan. Paparan terhadapnya dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf, kerusakan organ, dan meningkatkan risiko kanker. Selain itu, pestisida ini dapat merusak lingkungan dengan membunuh serangga yang bermanfaat, seperti serangga penyerbuk dan pemangsa hama alami. Penggunaan yang terus-menerus dapat membuat hama menjadi kebal, yang membuat pestisida kurang efektif dan memerlukan bahan kimia yang lebih berbahaya (Yuantari, 2011).

Analisis Pestisida pada Tanah

Sebelum dilakukan analisis, proses ekstraksi perlu dilakukan untuk memisahkan senyawa target dari matriks sampel yang kompleks. Telah banyak metode yang digunakan untuk analisis organoklorin, diantaranya soxhletasi, sonikasi, dan ekstraksi mikrowave. Teknik-teknik tersebut memakan waktu dan menggunakan pelarut dalam jumlah besar. Ekstraksi pelarut yang dipercepat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan baru dalam mengurangi penggunaan pelarut dalam persiapan sampel padat. Maka, analisis kandungan pestisida dalam tanah dapat dilakukan menggunakan Extreva ASE Accelerated Solvent Extractor.

Extreva ASE merupakan alat otomatis yang digunakan untuk menyiapkan sampel dengan mengekstraksi serta memekatkan organik dari berbagai bahan padat dan semi-padat. Alat ini bisa menggunakan hingga enam jenis pelarut (atau campurannya) dan dapat mengekstrak hingga empat sampel sekaligus. Teknologi barunya melibatkan penggunaan pelarut panas dan gas nitrogen dalam sel baja tahan karat untuk mencapai tekanan sekitar 200 psi (~14 bar).

Berdasarkan application note, tabel dibawah ini menunjukkan efisiensi ekstraksi Extreva ASE yang tinggi, dengan tingkat pemulihan atau average recovery antara 80% dan 115%, serta menunjukkan sedikit sekali senyawa yang hilang selama proses. Hasil ini memenuhi standar EPA Amerika Serikat (70-130%) dan standar internasional (80-120%). Selain itu, nilai RSD yang rendah (di bawah 8%) menunjukkan hasil yang konsisten.

Rata-rata tingkat recovery untuk spike 25 μg/kg
Tabel 1. Rata-rata tingkat recovery untuk spike 25 μg/kg.
Rata-rata tingkat recovery untuk spike 25 μg/kg dengan limit 80 dan 120%
Gambar 1. Rata-rata tingkat recovery untuk spike 25 μg/kg dengan limit 80 dan 120%

Pengujian dilakukan untuk melihat efek penguapan dalam proses ekstraksi. Hasilnya sesuai dengan standar yang ditetapkan, yaitu antara 70-130% dari nilai yang disarankan oleh U.S. EPA, dan bahkan lebih ketat, yaitu 80-120% dari standar internasional. Variasi hasil (RSD) semuanya di bawah 10%, menunjukkan bahwa sistem penguapan ini sangat konsisten. Selain itu, sistem Extreva ASE memudahkan pertukaran pelarut dengan menambah atau membilas pelarut. Penyesuaian rasio volume pelarut meningkatkan efisiensi ekstraksi dan menjaga kualitas sampel.

Tingkat pemulihan rata-rata untuk konsentrasi A dan B
Tabel 2. Tingkat pemulihan rata-rata untuk konsentrasi A dan B.
Gambar 2. Tingakat rata-rata recovery dari A dan B
Gambar 2. Tingakat rata-rata recovery dari konsentrasi A dan B

Uji degradasi termal dilakukan karena analit yang labil secara termal dapat terdegradasi saat ekstraksi suhu tinggi (>100°C). Dari 20 analit OCP, endrin dan 4,4′-DDT paling tidak stabil. Sampel tanah dengan endrin dan 4,4′-DDT diuji untuk melihat produk degradasi termal. Hasilnya menunjukkan bahwa metode ekstraksi Extreva ASE tidak menyebabkan kerusakan signifikan pada analit OCP.

Kerusakan endrin dan DDT pada ekstraksi yang berbedasuhu
Tabel 3. Kerusakan endrin dan DDT pada ekstraksi yang berbeda suhu.

 

Dengan menggabungkan dua instrumen persiapan sampel menjadi satu, sistem Extreva ASE melakukan ekstraksi dan penguapan senyawa organik dalam satu proses yang terintegrasi. Sistem ini menawarkan otomatisasi penuh, sehingga menghemat waktu, mengurangi kesalahan dan penggunaan pelarut, memungkinkan operasi tanpa pengawasan, serta secara signifikan meningkatkan hasil analisis

 

Sumber :

Gustavo F.S, et al. 2023. Surface-Enhanced Raman Scattering Sensing of Food Contaminants. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-822548-6.00140-0

Ravindran Jayaraj,corresponding author Pankajshan Megha, and Puthur Sreedev. 2017. Organochlorine pesticides, their toxic effects on living organisms and their fate in the environment. doi: 10.1515/intox-2016-0012

Isnawati, A., & Mutiatikum, D. (2005). Penetapan Kadar Residu Organoklorin Dan Taksiran Resiko Kesehatan Masyarakat Terhadap Residu Pestisida Organoklorin Pada 10 Komoditi Pangan. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 15(2), 161898.

Suryono, C. A., Suwartimah, K., Rochaddi, B., & Sarjito, S. (2016). Kontaminasi Pestisida Organoklorin pada Sedimen dan Air Laut dan Pengaruhnya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos di Pesisir Jepara. Jurnal Kelautan Tropis, 18(3), 139–146.

Yuantari, M. C. (2011). Dampak pestisida organoklorin terhadap kesehatan manusia dan lingkungan serta penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional Peran Kesehatan Masyarakat dalam Pencapaian MDG’s di Indonesia, 187–199. https://www.academia.edu/download/56455968/OCsRev.pdf

 

Penulis: Nadila

Editor: Luthfia P.

 

Share the Article
X